Jumat, 12 November 2010 - , , , , , 0 komentar

Lebih Dekat dengan "Mbah Rono"

Wajah lelah kurang tidur dari pria berkumis dan berkacamata dengan rambut agak kribo itu akrab bagi pemirsa televisi. Kalimat yang dia ucapkan tidak pernah bombastis meski itu menyangkut bencana letusan Gunung Merapi—gunung teraktif di Indonesia—yang sejak 26 Oktober lalu letusannya kian mengancam jiwa mereka yang berdiam di sekitar Merapi.

Bergulat dengan perilaku gunung api sejak tahun 1982, tugas yang diemban Surono meliputi tiga aras: riset pengetahuan, publikasi, dan keselamatan warga. Tiga kepentingan yang sering kali memunculkan dilema.

Lulusan jurusan Fisika ini terpanggil menekuni kegunungapian setelah pengalamannya membawa seorang periset Amerika Serikat ke Gunung Galunggung, Provinsi Jawa Barat, tahun 1982, sementara Gunung Kelud memberikan pelajaran baru tentang berubahnya perilaku sebuah gunung api. Kelud yang dikenal ledakannya yang eksplosif (meletus dengan kekuatan besar) menjadi efusif (materi piroklastik tidak dilontarkan ke udara, tetapi meleleh, mengalir di punggung gunung).

Tugasnya mengawal Gunung Merapi kali ini entah kapan berakhir. Tak seorang pun tahu. Namun, Surono pasti akan tetap setia untuk menerapkan prinsipnya: toleransi nol demi keselamatan jiwa manusia (zero tolerance for a safe life).

Di bawah merupakan rangkuman wawancara Kompas di berbagai kesempatan, termasuk di sela-sela kesibukannya melihat pemasangan alat seismik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (6/11/2010).

Ambil alih komando 
Sejak Merapi berstatus Awas pada 25 Oktober lalu, Surono, sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengambil alih komando pemantauan dan mitigasi bencana yang sebelumnya dipegang Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.

Sejak saat itu seluruh data pemantauan instrumental dan visual Merapi diolah, diserap, dan dianalisisnya untuk mengambil keputusan-keputusan penting, khususnya terkait dengan keamanan warga di sekitar Merapi—ini terkait dengan penentuan radius bahaya primer Merapi.

Tugas yang diembannya amat berat mengingat faktor-faktor: tingkat kesulitan yang tinggi dalam memprediksi perilaku suatu gunung api, keselamatan jiwa warga yang dipertaruhkan, serta dampak-dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari sebuah keputusan. Di ranah itulah posisi Surono berada. Selalu menghadapi dilema dari waktu ke waktu. Hasil analisis dan keputusannya diteruskan sebagai rekomendasi kepada pemerintah daerah sekeliling Merapi dan pihak-pihak terkait lainnya.

Rekomendasi itu menjadi patokan bertindak, khususnya dalam upaya mitigasi dengan mengevakuasi warga. Maka, Surono pun sering dipanggil dengan sebutan Mbah Rono, mengacu pada panggilan kuncen gunung—yang perannya dekat dengan warga.

Salah satu saat paling krusial adalah saat dia menaikkan status Merapi dari Siaga (level III) menjadi Awas (level tertinggi), pada 25 Oktober. Status Awas mengandung konsekuensi: pemerintah harus mengungsikan puluhan ribu penduduk dari ”zona merah”—saat itu radiusnya 10 kilometer dari puncak.

”Jika jarak waktu antara status Awas dan letusan terlalu pendek, pemerintah daerah tidak akan punya cukup waktu mengevakuasi warga. Namun, jika jaraknya terlalu lama, akan menimbulkan masalah sosial besar karena warga akan terlalu lama di pengungsian,” ujarnya suatu waktu.

Dengan segala pengalaman, pengetahuan, dan teknologi terbatas untuk memahami gunung berapi, Surono harus mengambil keputusan dalam kondisi genting. Benar saja, 35 jam setelah ditetapkan berstatus Awas, Merapi meletus pertama kali pada 26 Oktober pukul 17.02.

Meski puluhan ribu jiwa terselamatkan, Surono tetap merasa gagal karena masih terdapat 32 korban jiwa, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. ”Saya merasa gagal karena ternyata tidak bisa dipercaya oleh mereka yang masih bertahan di zona bahaya,” ujar Surono.
Tidak ada pengetahuan yang bisa mengontrol kemauan alam, termasuk mengatur Merapi.
Letusan 26 Oktober itu bukan babak akhir drama Merapi tahun ini. Rentetan letusan hingga Jumat (5/11/2010) terus terjadi—letusan pada 3 November dan 5 November berskala lebih dahsyat dibandingkan dengan letusan 26 Oktober. Keputusan-keputusan krusial terus menghadang dari waktu ke waktu.

Bahkan sempat keputusan memperluas radius berbahaya menjadi berbeda dengan pemerintah setempat. Radius bahaya terus meluas dari 10 km menjadi15 km (3 November) dan menjadi 20 km pada 5 November. Tugas Surono masih panjang karena tidak ada yang tahu kapan gejolak Merapi akan berhenti. Tak ada yang bisa menjamin klimaks letusan telah tercapai.

Tugas Surono semakin berat dan memusingkan karena kali ini Merapi keluar dari tabiat khasnya yang ”kalem” dan tidak meledak-ledak. Meski sudah ada persiapan sejak tahun 2007, setelah Merapi meletus 2006, tak seorang pun mengira letusan kali ini bakal sedemikian besar.

”Tadinya kami mengira masyarakat kita sudah cukup terdidik untuk menghadapi bahaya letusan Merapi. Masyarakat masih terus mengacu pada pengalaman letusan-letusan sebelumnya. Padahal, generasi yang mengalami letusan tahun 1930 tinggal sedikit, sementara letusan tahun 1994 dan 2006 sifatnya hanya sektoral dan kecil. Kita perlu belajar bahwa ternyata Merapi berubah,” tutur Surono.

Ingatan empiris 
Dia menjelaskan, karena acuan yang ada hanya ingatan empiris, pada waktu Awas masyarakat tidak melihat api diam, juga tidak terbiasa dengan status Awas yang demikian pendek. Rupanya kekagetan melihat perilaku Merapi yang berubah juga dialami ilmuwannya. Sejak tanggal 23 Oktober, energi Merapi meningkat langsung menjadi tiga kali lipat daripada letusan 1997, 2001, ataupun 2006.

”Sewaktu kita mau menaikkan ke status Awas, proses pengambilan keputusannya jadi krusial karena hanya sejam,” katanya.

”Tidak ada pengetahuan yang bisa mengontrol kemauan alam, termasuk mengatur Merapi. Yang tahu maunya Merapi, ya cuma Merapi sendiri. Saya hanya membaca dan menyampaikan pesan-pesannya,” ujarnya.

Dia kini sering menambahkan, ”Mari kita berdoa, berharap yang terbaik yang terjadi, semoga kondisi tidak semakin parah.”

Sebagai upaya mitigasi, tidak perlu semua gunung api ditambah alat pemantau. ”Selektif saja, di daerah bahaya yang dekat dengan tempat wisata. City volcano, seperti Merapi ini, perlu ditambah peralatan pemantaunya, makanya kita datangkan dari Sinabung. Dari empat stasiun pemantau di Merapi, tinggal Plawangan yang menyala, tiga yang lain mati, tidak kuat terkena erupsi. Sekarang sedang kita tambah dengan memasang alat pemantau di UGM, Museum Merapi, dan Imogiri,” tuturnya.

Dia menegaskan, data dari pos-pos gunung api adalah lini pertahanan terdepan, lini kedua ada di kantor pusat vulkanologi di Bandung. ”Sistem peringatan dini yang kita pasang harus disertai riset tentang karakter setiap gunung api,” lanjutnya.

Sebagai negeri di daerah cincin api dengan 129 gunung api, negeri ini kaya akan ilmuwan. ”Ahli kita banyak sebenarnya, banyak yang dilamar oleh lembaga riset luar negeri. Riset itu penting, tetapi tetap harus berguna, harus bisa dipakai untuk mitigasi, what next, jangan sampai riset itu kesimpulannya masih kurang data dan perlu riset lanjutan,” tegasnya.

Teknologi yang dimiliki Indonesia sebenarnya telah mencukupi. Dia tak rela jika Indonesia menjadi laboratorium dunia. ”Orang luar mencoba alat, lalu kalau bagus dijual ke kita. Ketika Badan Geologi AS (USGS) menawari Indonesia masuk dalam pemantauan 1.000 gunung api, saya tanya ke staf saya, ’Bisa tidak kamu belajar di sana lalu kamu curi ilmunya’.”

”Target kita, tahun 2011 sudah harus mandiri dalam teknologi. Tahun ini peta kawasan rawan bencana gunung api tipe A sudah harus selesai agar pemerintah daerah bisa segera menyesuaikan dengan penyusunan tata ruang,” ungkapnya.

Sumber: Kompas, 7 November 2010

0 komentar:

Posting Komentar