Kaldera adalah pusat letusan yang diameternya lebih dari 2 kilometer, sedang kawah adalah pusat letusan yang berdiameter kurang dari 2 kilometer.
Menurut Kepala Sub-Bidang Pengamatan Gunung Api Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi Direktorat Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agus Budianto, ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu (24/11), Gunung Bromo di Jawa Timur merupakan gunung yang muncul akibat aktivitas Gunung Bromo purba pada masa lalu. Belum jelas berapa puluh ribu tahun yang lalu gunung purba tersebut meletus.
”Kalderanya adalah kaldera pasir yang kita kenal sekarang. Di sekitar kawasan kaldera pasir kemudian muncul beberapa gunung selain Gunung Bromo, di antaranya adalah Gunung Batok dan Gunung Widodaren. Model kaldera seperti ini amat umum di Indonesia. Ini berasal dari gunung yang besar sekali, megavulkano. Selain kaldera Bromo dan kaldera Danau Toba, juga ada kaldera Krakatau yang melahirkan Gunung Anak Krakatau, kaldera Batur yang melahirkan Gunung Anak Batur yang sekarang ada, dan kaldera Maninjau untuk Gunung Maninjau,” tutur Agus.
Kaldera Danau Toba, yang meletus sekitar 70.000 tahun lalu, menurut dia adalah hasil dari aktivitas vulkano dan aktivitas tektonik.
Dari catatan yang ada pada Babad Ngayogyakarta, Gunung Bromo meletus pada 28 Desember 1822 dan baru berhenti pada Januari 1823. Sebelumnya, pada 1822 meletus Gunung Merapi (Kompas Yogyakarta, 19/11), Gunung Slamet (Jawa Tengah), Gunung Kelud (Jawa Timur), dan Gunung Guntur (Jawa Barat). Pada tahun yang sama, lima gunung meletus. Tiga gunung lainnya adalah Gunung Kelud, Slamet, dan Guntur.
Meletus di tahun bersama
Sementara berdasarkan buku Data Dasar Gunung Api Indonesia terbitan 1979, Gunung Bromo tercatat meletus pada 1822 bersama dengan Gunung Merapi, Gunung Galunggung, dan Gunung Lamongan. Buku katalog referensi gunung api Indonesia dengan letusan dalam waktu sejarah ini dikumpulkan dari berbagai referensi yang ada sejak zaman kolonial.
Berdasarkan data di buku tersebut, Gunung Bromo telah meletus sebanyak 43 kali—ditambah letusan pada 2004. Namun, situs http://geodesy.gd.itb.ac.id menyebutkan telah meletus 50 kali sejak 1775. Catatan dari Data Dasar Gunung Api Indonesia, letusan tertua adalah pada 1804.
Menurut Neumann van Padang (Data Dasar Gunung Api Indonesia, 1979) dalam kaldera pasir tersebut dari Pegunungan Tengger ada tujuh pusat letusan dalam dua jalur yang bersilangan, satu pada arah timur-barat dan yang lain jalur timur laut-barat daya. Gunung Bromo berada pada aksis timur laut-barat daya.
Gunung ini merupakan satu-satunya gunung api yang masih aktif dari warisan Gunung Bromo Purba. Kawah di arah timur-barat garisnya mencapai 600 meter, sementara kawah di arah utara-selatan garis tengahnya 800 meter. Sebuah undak menunjukkan, pusat letusan bergerak ke jurusan utara. Pada Maret 1983 terbentuk sebuah danau di kawahnya.
Pada sejarahnya, letusan Gunung Bromo tidak mengalirkan lava pijar. Abu vulkaniknya pernah tercatat merusak perkebunan di sekitarnya pada letusan yang terjadi pada 1915 dan 1948. Letusan terpanjang terjadi pada 1842, yaitu pada 24 Januari hingga Juni.
Dari situs yang sama, tertulis letusan terakhir terjadi pada 8 Juni 2004 dan benar-benar berakhir pada 9 Juni 2004. Letusan besar hanya terjadi sekitar 20 menit. Letusan bersifat freatik, membentuk kolom abu berketinggian hingga 3.000 meter di atas bibir kawah. Material abu dan batu kerikil tersembur hingga radius 300 meter (bandingkan dengan abu Merapi yang bisa menjalar melalui awan panas hingga lebih dari 4 kilometer).
Data yang dimuat pada situs http://geodesy.gd.itb.ac.id dari Kelompok Keilmuan Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB tentang Pemantauan Deformasi Gunung Api Bromo dengan GPS, gunung api tipe A ini adalah gunung api yang termuda di kawasan kaldera Tengger, yaitu Gunung Widodaren, Kursi, Segorowedi, dan Batok.
Kaldera Tengger sendiri dalam situs itu disebutkan berukuran 9 km x 10 km yang dikelilingi tebing curam dengan ketinggian antara 50 meter dan 500 meter. Jajaran gunung di dalam kaldera dikelilingi batuan vulkanik Gunung Tengger purba—yang disebut oleh Agus sebagai Gunung Bromo Purba.
Dan kini, kaldera pasir tertutup untuk aktivitas apa pun. Padahal, pada saat Bromo ”istirahat”, kaldera tersebut, terutama pada akhir pekan, akan dipadati wisatawan dalam negeri dan mancanegara. Mereka rela berdingin-dingin untuk menikmati merekahnya fajar pertama yang bisa disaksikan dari pinggiran kaldera. Sebuah keindahan yang membisukan....
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar